Thursday, November 27, 2008

News

Negara Berkembang Hendaknya Perkuat Kerjasama Manajemen Bencana


(Vibiznews – Risk) - Pemerintah Indonesia menilai negara-negara berkembang harus dapat berbagi pengalaman dan keahlian dalam bidang manajemen resiko bencana agar tidak lagi tergantung kepada negara-negara maju.

Hal itu dikemukakan oleh Direktur Kerjasama Teknis Departemen Luar Negeri Esti Andayani seusai membuka acara Lokakarya Internasional Kerjasama Manajemen Resiko Bencana Selatan-Selatan mengenai Adaptasi Perubahan Iklim di Jakarta, Selasa.

"Kami kira negara maju akan lebih menghargai negara-negara berkembang jika negara berkembang dapat saling bahu membahu dalam memecahkan masalah tidaklagi terlalu bergantung pada negara maju," katanya.

Dalam hal itu, lanjut dia, Indonesia telah berperan aktif dengan berusaha mewujudkan komitmennya dalam berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan negara-negara berkembang di kawasan.

"Indonesia aktif mengadakan pelatihan, lokakarya, peluang magang di berbagai sektor pembangunan," katanya.

Menurut Esti, program lokakarya manajemen resiko bencana yang dihadiri oleh perwakilan dari 13 negara kali ini juga adalah salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam semangat kerjasama.

Sementara itu Deplu, United Nations Economic dan Social Commission for Asia and The Pacific (ESCAP), Unit Khusus UNDP bagi kerja sama Selatan-Selatan dan GNB menyelenggarakan lokakarya internasional mengenai peningkatan kerja sama Selatan-Selatan dalam manajemen bencana alam di Asia Pasifik dengan fokus pada Adaptasi Perubahan Iklim pada 14-17 Oktober 2008.

Acara itu diikuti oleh 30 peserta dari13 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik yaitu Bangladesh, Cina, Fiji, Filipina, India, Laos, Maladewa, Papua Nugini, Sri Lanka, Thailand, Timor Leste, Vietnam dan Indonesia.

Penyelenggaraan lokakarya itu bertujuan untuk mempromosikan kapasitas dan pengalaman berbagai instansi dan institusi di Indonesia di bidang manajemen resiko bencana (disaster risk management/DRM) dan adaptasi perubahan iklim (climate change adaptation/CCA) dalam menangani berbagai bencana alam di Indonesia kepada negara-negara peserta pelatihan serta sebagai forum pertukaran pengalaman dan gagasan di antara Indonesia dengan negara-negara peserta.

Lokakarya tersebut juga diharapkan mampu membangun jejaring di antara para peserta maupun para ahli DRM dan CCA. Jejaring yang sama juga diharapkan dapat terbentuk di antara lembaga-lembaga yang menangani dan memiliki perhatian dalam bidang DRM dan CCA.

Sebagai kawasan yang rentan terhadap bencana alam dan terhadap dampak perubahan iklim global, negara-negara di Asia Pasifik yang sebagian besar merupakan negara berkembang memerlukan sebuah mekanisme kerjasama guna menanggulangi dampak tersebut, baik di bidang sosial maupun ekonomi

Ref : Risk Management


Risiko Sistem dari Ancaman Bangkrutnya AIG

Oleh: Rinella Putri

(Vibiznews – Risk) – Lehman Brothers sudah mengumumkan kebangkrutannya minggu lalu. Kisruh Lehman kemudian diikuti oleh AIG yang nafasnya tersengal-sengal hingga tiba hari ini ketika The Fed memutuskan untuk melakukan bailout terhadap raksasa asuransi tersebut. Lalu mengapa The Fed memilih untuk menyelamatkan AIG, dan bukan Lehman?

Hari ini, The Fed mengumumkan bahwa mereka akan memberikan pinjaman berjangka waktu 2 tahun bagi AIG senilai $85 miliar. Sementara itu, sebagai imbalnya, The Fed akan mengambil alih 79.9% kepemilikan dari raksasa asuransi tersebut dan mengganti jajaran manajemennya. CEO Robert Willumstad, menurut kabar yang beredar akan digantikan dengan mantan CEO Allstate Corp yakni Edward Liddy.

The Fed turun tangan setelah negosiasi AIG dengan JPMorgan dan Goldman Sachs gagal menemui solusi. Dana pinjaman bagi AIG ini nantinya akan dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo. Sementara itu, dalam jangka waktu tersebut AIG diperkirakan akan menjual asset-aset yang dimilikinya demi mengembalikan pinjaman kepada The Fed. Sepanjang minggu lalu, saham AIG sudah anjlok sebesar 80% seiring dengan kekhawatiran pasar terhadap ancaman kebangkrutannya.

Sepanjang tiga kuartal pada tahun 2008 ini, AIG sudah mencatatkan kerugian total senilai $18.5 miliar dari writedown akibat krisis subprime mortgage yang menimpa AS. Saat ini AIG menjamin sekitar $442 miliar investasi perbankan dan institusi lainnya, termasuk $57.8 miliar investasi yang terkait dengan subprime mortgage.

Kekhawatiran pasar timbul ketika Moody’s Investor Service, Standard and Poor’s serta Fitch menurunkan rating kredit AIG. Sehingga, hal ini memaksa AIG untuk mencari tambahan likuiditas demi menjamin kontrak asuransinya terhadap pihak ketiga. Tanpa dana tersebut, maka AIG akan mengalami default terhadap kewajiban-kewajibannya dan para pembeli asuransi mereka. Sehingga pihak ketiga yang terkait dengan AIG berpotensi mengalami kerugian yang besar dari tiadanya jaminan terhadap investasi mereka.

Sebenarnya, sebesar apakah dampak yang timbul dari kemungkinan bangkrutnya AIG? Tentunya The Fed punya alasan penting mengapa mereka memilih untuk menyelamatkan AIG dibandingkan Lehman. Jika AIG benar-benar bangkrut, maka hal ini berpotensi menimbulkan malapetaka financial berskala global. Menurut RBC Capital Markets, jika AIG benar-benar collapse, maka industri finansial ditaksir bakal mengalami kerugian senilai $180 miliar atau setara dengan 1,674 kuadriliun rupiah.

Kehancuran AIG mengancam terjadinya efek domino, karena mereka sangat terkait dengan pihak-pihak ketiga. AIG mengasuransikan mortgage-backed securities dan instumen derivative lainnya terhadap risiko default. Jika AIG tidak mampu membayarkan apa yang sudah dijaminnya, maka tentunya ini akan menimbulkan dampak signifikan terhadap sektor finansial AS.

Mengapa bukan Lehman? Keputusan The Fed untuk tidak menggunakan uang rakyat yang membayar pajak untuk menolong Lehman Brothers jelas disebabkan karena mereka memandang bahwa bangkrutnya Lehman tidak menimbulkan risiko sistematis sebesar ancaman risiko yang dihadirkan oleh AIG.

Melalui krisis financial ini, pelajaran yang bisa dipetik adalah, betapa mahalnya harga suatu moral hazard. Sehingga mudah-mudahan krisis ini tidak akan terulang kembali di masa depan.

Ref : Risk Management


SEC Akan Terapkan Regulasi Baru Untuk Lembaga Rating

Oleh: Rinella Putri

(Vibiznews – Risk) – SEC, lembaga pengawas pasar modal AS, berusaha untuk memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan lembaga rating. Tujuannya adalah supaya memperbaiki asymmetric information di pasar dan memperkecil risiko investor. Rencananya, SEC akan segera menetapkan aturan baru bagi lembaga rating.

Tiga perusahaan yang mendominasi bisnis rating senilai $5 miliar antara lain adalah Standard &Poor’s, Moody’s Investor Service dan Fitch Rating. Ketiganya juga banyak disalahkan akibat gagal mengidentifikasi besarnya risiko dari investasi pada subprime mortgage yang mengakibatkan krisis kredit global. Ketiga perusahaan rating ini dikritik karena overrated (memberi rating terlalu tinggi) kepada sekuritas-sekuritas yang dijamin oleh bad loan, sehingga mengakibatkan investor menerima risiko yang lebih besar dari yang mereka bisa tanggung.

Menurut chairman SEC Christopher Cox seperti dikutip CFO Magazine, kompleksitas produk terstruktur (structured product) serta kurangnya informasi berkualitas mengenai underlying asset menjadikannya sulit untuk menentukan rating kredit.

Salah satu aturan yang bakal ditetapkan adalah: lembaga rating tidak boleh mengeluarkan rating untuk produk terstruktur kecuali mereka memiliki informasi yang cukup mengenai underlying asset-nya. Lembaga rating juga tidak akan diperbolehkan untuk memberikan nasihat bagi investment bank mengenai bagaimana supaya sekuritas mereka memiliki rating yang bagus. Selain itu, hadiah lebih dari $25 dari perusahaan atau mereka yang menerima rating tidak akan diperbolehkan.

SEC juga akan mewajibkan lembaga rating meningkatkan disclosure atau transparansi. Lembaga rating harus membuat rating mereka tersedia secara publik untuk menjaga supaya tidak overrated. Mereka juga harus mengeluarkan informasi yang digunakan dalam membuat rating dan mempublikasikan statistik kinerja perusahaan secara regular. Mereka juga akan diwajibkan mempublikasikan laporan tahunan mengenai seluruh rating yang mereka buat dan menyimpan informasinya dalam sebuah database. Lembaga rating tersebut juga diminta untuk mengemukakan mengenai seberapa rutin mereka mengkaji kembali rating yang terlah mereka tetapkan pada sekuritas tertentu.

Cox mengungkapkan bahwa rating pada produk terstruktur sesungguhnya berbeda dengan rating utang yang biasa. Mengapa? Hal ini disebabkan karena produk terstruktur lebih sensitive terhadap guncangan perekonomian, karena sangat tergantung pada model kompleks yang nyatanya tidak sempurna, dan juga didorong oleh asumsi-asumsi tertentu sehingga menjadi lebih berisiko

Ketiga lembaga rating: S&P, Moody dan Fitch, ketiganya setuju untuk bekerjasama untuk meningkatkan kualitas analisa mereka. Beberapa waktu lalu, ketiga lembaga rating ini menandatangani kesepakatan dengan pengacara New York Andrew Cuomo untuk menciptakan independensi yang lebih baik dan hasil yang lebih akurat.

Mudah-mudahan dengan diterapkannya aturan baru ini, maka krisis kredit tidak akan terulang kembali.

Ref : Risk Management